Tuesday, August 30, 2016

alquran kitab suci yang diturunkan Allah, yang membuat Al-Qura'an terjaga, mazhab (aliran)

Al-Qura'an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril dan merupakan suatu ibadah bagi orang yang membacanya.

 Al-Qura'an yang ada di hadapan kita saat ini tidak bisa lepas sejarahnya dari peran para sahabat dalam penulisan Al-Qura'an pada masa Rasulullah saw, kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dan masa Utsman bin Affan. 

Ada dua hal yang membuat Al-Qura'an terjaga ketika itu.

 Pertama, hafalan yang tersimpan rapi dan terjaga dalam dada para sahabat. Kedua, tertulisnya Al-Qura'an seluruhnya tetapi dalam susunan yang belum teratur.

Al-Qura>an diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat tinggi susunan bahasanya dan keindahan balaghahnya, karena bangsa Arab dikenal memiliki berbagai dialek (lah{jah). 

Antara satu kabilah dengan kabilah yang lain mempunyai dialek yang berbeda, baik intonasi, bunyi maupun hurufnya.

 Akan tetapi, bahasa Quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri dan lebih tinggi balaghah dan sastra daripada bahasa dan dialek yang lain.

 Oleh karena perbedaan dan keragaman dialek-dialek bangsa Arab tersebut, Al-Qura'an yang diwahyukan Allah kepada Nabi menjadi lebih sempurna kemukjizatannya karena dapat menampung semua dialek dan macam-macam bacaan Al-Qura'an. Akibatnya, umat mudah untuk membaca, menghafal dan memahami Al-Qura'an. Dalam hal ini, banyak sekali hadis Nabi yang menjelaskan tentang Al-Qura'an yang diturunkan dalam tujuh huruf. 

Diturunkan Al-Qura'an dalam tujuh huruf merupakan salah satu upaya untuk memudahkan umat manusia memahami Al-Qura'an. 

Oleh karenanya, Nabi menyampaikan Al-Qura'an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda. 

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada peristiwa antara Umar bin Khatthab dengan Hisyam bin Hakim.

 Kemudian para sahabat pun menyampaikan Al-Qura'an kepada generasi selanjutnya sebagaimana diterima dari Nabi Muhammad. Perbedaan bacaan tersebut terus berkembang sampai masa tabi`in, hingga melahirkan ahli-ahli atau imam-imam dalam bidang qira‘at,  baik qira‘at tujuh, qira‘at sepuluh mau-pun qira‘at empat belas.

 Jadi, variasi bacaan tersebut kaitanya dengan posisi bangsa arab yang merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang jazirah Arab, karena setiap suku mempunyai format dialek yang khas dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Untuk itu, perbedaan dialek tersebut sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural masing-masing. 

Namun, mereka juga telah menjadikan bahasa Quraisy dalam perniagaan, ketika mengunjungi ka’bah, serta interaksi-interaksi lainnya.

Variasi qira‘at tersebut mempunyai nilai yang sama, tidak ada kelebihan atau keistimewan antara bacaan yang satu dengan bacaan yang lainya, karena semuanya sama-sama datang dari Allah.
Qira‘at merupakan salah satu mazhab (aliran) pengucapan Al-Quraan yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. 

Qira‘at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qira‘at) yang mengajarkan bacaan Al-Qura'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. 
Di antaranya para sahabat yang terkenal mengajarkan qira‘at  ialah


  • Ubay bin Ka’ab, ‘
  • Ali bin Abi talib,  
  • Zaid bin Sabit, 
  • Ibn Mas’ud, 
  • Abu musa al-Asy’ari 
  • dan lain-lain. 


Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira‘at. 

Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah saw. 

Qira‘at para sahabat berbeda satu sama lainya dalam mengambil Al-Qura>an dari Rasulullah saw.

 Kemudian mereka menyebar kedaerah-daerah. Berbeda pula para tabi’in dalam mengambil Al-Qura'an dari para sahabat. 

Tabi’ut tabi’in pun juga berbeda dalam mengambil Al-Qura'an dari tabi’in. Keadaanya terus demikian sampai munculnya para imam qurro’ yang masyhur itu.

 Mereka mengkhususkan dari dalam qira‘at-qira‘at tertentu kemudian mengajarkan dan menyebarkan Al-Qura'an dengan qira‘at mereka masing-masing. Orang yang pertama kali menyusun qira‘at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam yang mengumpulkan qira‘at kurang lebih sebanyak 25 macam kemudian barulah imam-imam lainnya mulai menyusun qira‘at. 

Persoalan qira‘at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira‘at (qira‘at sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’.
Variasi qira‘at itu cukup banyak jumlahnya, namun yang popular hanya tujuh orang. qira‘at tujuh oranng imam ini adalah qira‘at yang disepakati.

 Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qira‘at yang qira‘at nya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazzin bin Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam di atas dikenal dengan imam qira‘at.

 Akan tetapi di sisi lain al-sab’ah  fi al-qari’ah-nya Ibn mujahid ini menimbulkan beberapa kontroversi dari para ulama’ setelahnya yang mengencam atas penetapan Ibn Mujahid mengenai qira‘at mutawatirah yang hanya berhenti pada tujuh qira‘at imam saja.

Diantaranya, al-Nasyr fi al- qira‘at al-asyr karya ibnu jazari yang mengkritiknya dan menambah imam qira‘at yang awal tujuh menjadi sepuluh, yakni dengan masuknya qira‘at Ja’far, Ya’qub dan Khala al-Asyir ke dalam qira‘at mutawatirah. 

Terlepas dari mana yang valid diantara ketiga kitab tersebut, karya Ibn Mujahid diakui oleh mayoritas sebagai bacaan yang formal dan legal sebab didukung oleh otoritas politik pemerintah pada waktu itu.


Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa tak cukup hanya mensyaratkan Shahih sanad, melainkan perlu ditekankan persyaratan mutawatir karena syarat utama dalam menetapkan suatu teks sebagai salah satu ayat adalah mutawatir, apabila bacaan suatu ayat sudah mutawatir dari Rasul Allah, maka bacaan itu wajib diterima, tak peduli apakah cocok dengan tulisan mushaf atau tidak.


Perlu diketahui pula, bahwa berbagai versi qira‘at  Al-Quraan tersebut ada kalanya berkaitan dengan substansi lafadz dan adakalanya berkaitan dengan lahjat atau dialek kebahasaan. Perbedaan qira‘at yang berkaitan dengan substansi lafaz} bisa menimbulkan perbedaan makna, sementara perbedaan qira‘at  yang berkaitan dengan lahjat atau dialek kebahasaan tidak menimbulkan perbedaan makna. 

Dari berbagai macam versi qira‘at Al-Qura'an tersebut, ada sementara versi qira‘at yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum, yang berbeda dengan versi qira‘at sebagaimana terbaca dalam mushaf Al-Qura'an yang dimiliki kaum muslimin sekarang. Perbedaan versi qira‘at tersebut bisa menimbulkan istinbath hukum yang berbeda jauh pula. 
Oleh karena itu, Syaikh Manna’ al-Qattan mengutip pernyataan ulama’ mengatakan sebagai berikut:


باختلاف القراءات يظهر الختلاف في الحكام

“Dengan adanya perbedaan versi qira>‘at dalam Al-Qura>an, akan tampak pula perbedaan ulama’ dalam menentukan hukum”.

Al-Qura'an yang merupakan pondasi Islam beisi tentang hukum (ahkam) dan juga kisah yang mengandung ibrah, namun terkadang dengan adanya perbedaan qira‘at  implementasi dari isinya akan berbeda. Hal ini tentunya menjadi problema tersendiri. 

Sebab ahkam merupakan istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu, atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. 

Menurut ulama fiqh, hukum adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah.

 Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukum adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah. 

Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu).

 Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum.
Tafsir âyât al-Aẖkâm  ini berusia sudah sangat tua karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qura'an itu sendiri. Banyak judul kitab tafsir  yang layak untuk disebutkan dalam deretan daftar nama kitab-kitab tafsir âyât al-Ahkâm , baik dalam bentuk tafsir tahlili maupun maudhu’i, antara lain, Aẖkâm  Al-Qura>an al-Jashshash susunan Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali ar-Razi al-Jashshash (305-307 H/917-980 M), salah seorang ahli fiqih Mahzab Hanafi; Aẖkâm  Al-Qura>an ibn al-Arabi, karya Abi Bakar Muhammad bin Abdillah yang lazim popular dengan nama Ibn al-Arabi (468-543 H/1075-1148 M) ; Aẖkâm Al-Qura>an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya  al-Harasi (w. 450 H/1058 M)­ salah seorang mufassirin berkebangsaan Khusaran; al-Jami’ li Aẖkâm Al-Qura>an wa al-Muhayyin lima Tadhammanahu min as-Sunnah wa Ayi Al-Qura>an susunan  Abi Abdillah Muhammad al-Quthubi (w. 671 H/1272 H) ; Tafsir Fath al-Qadir, karya besar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Syawkani (1173-1250 H/1759-1839 M); Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298 H/1881 M – 1373 H/1945 M); Tafsir Ayat al-Aẖkâm, susunan Muhammad Ali al-Sayis, dosen Universitas al-Ahzar Mesir; dan Tafsir Ayat-Ayat Hukum, karya Muhammad Amin Suma.


cuplikan dari skripsi nadlifa elanisa uin 

No comments:

Post a Comment